Jumat, 14 November 2014

Fanfiction - Sunshine After Rain

SUNSHINE AFTER RAIN

“Hey bocah! Untuk apa kamu ada di sini?”

“Sampah!”

“Mengganggu saja!”

“Pembawa sial!”

Di koridor sekolah yang sepi, tampak seorang anak kecil berlari kencang. Nafasnya memburu. Namun, tampaknya kedua kakinya tak mampu menopang tubuh kecilnya lagi. Ia jatuh terduduk. Telinganya ia tutup rapat-rapat, berharap suara-suara itu hilang dari kepalanya. Matanya terpejam. Ia menekuk kedua lututnya. Seluruh tubuhnya bergetar. Perlahan-lahan tetes-tetes air mulai berjatuhan dari sudut-sudut matanya.Ia tidak mampu.Tidak akan mampu bertahan lagi seperti sebelumnya. Seluruh tenaganya telah habis. Seluruh harapannya telah sirna.
“Julian?” Seseorang menepuk pundak anak kecil itu. “Julian?” sekali lagi orang itu menepuk pundaknya. “Julian!” Anak laki-laki itu tersentak. Ia menengadah dan mendapati seorang gadis kecil menatapnya dengan raut wajah cemas. Air mata mulai turun kembali dari kedua matanya. “Julian baik-baik saja?” Gadis kecil itu duduk di sampingnya kemudian merengkuh anak laki-laki itu sambil menepuk kepalanya pelan. “Julian harus baik-baik saja. Julian ‘kan kuat. Aku percaya Julian bisa membuktikannya pada mereka,” katanya lembut.
Dalam hatinya, anak laki-laki itu berjanji untuk menjadi anak yang kuat. Seperti yang gadis itu katakan padanya.

.

.


“Hey, lihat!” Tampak dua anak laki-laki sedang berdiri dihadapan sebuah papan mading. “Lomba menulis untuk mading,” Salah seorang dari mereka membaca tulisan yang tertera pada papan itu. “Julian, kamu tidak ingin mencoba yang satu ini?” Seorang lagi yang dipanggilnya Julian itu menoleh lalu ikut melihat pada tulisan yang baru saja dibaca temannya itu. “Dalam rangka memperingati hari Valentine tim mading sekolah mengadakan lomba menulis.” Ia mulai membaca tulisan itu. “Tulisan dibuat sebagai persembahan bagi orang yang penting bagi peserta, seperti ibu, ayah, teman, sahabat, atau bahkan orang yang disukai. Karya-karya terpilih akan dipajang di papan mading sekolah,” lanjutnya.
“Hai Devon, hai Julian!” Dua orang gadis menghampiri mereka. “Kalian sudah baca pengumumannya? Tentang lomba menulis. Aku dan Agnes menjadi panitia kali ini. Kalau kalian tertarik untuk ikut bilang saja pada kami,” kata gadis dengan tulisan nama Sophie pada seragamnya. “Julian mau ikut?” tanya seorang gadis lain yang bernama Agnes itu. “Iya, Julian. Kamu ‘kan pandai membuat karya tulis. Kamu bisa menulis untuk siapa saja. Untuk orang yang kau sukai misalnya,” Sophie mengerling pada Julian yang segera terlihat malu itu. “Memangnya dia punya?” tanya Devon sambil memberi tatapan menyelidik pada Julian. Sedangkan yang dibicarakan hanya terdiam sedari tadi. “Tentu saja punya. Ya ‘kan?” Kembali, untuk kesekian kalinya, Julian mendengar kedua temanya itu—Devon dan Agnes meributkan hal yang bahkan tidak terlalu penting.  “Memangnya dia punya waktu untuk menyukai seseorang? Bukannya ia menghabiskan seluruh waktunya untuk belajar?” sindir Devon. “Kalian ini bicara apa, sih?” Julian menghentikan ocehan kedua temannya yang sudah mulai melantur itu. “Jadi, Julian mau ikut atau tidak?” tanya Agnes untuk memastikan keikutsertaan Julian pada lomba menulis kali ini. “Aku ikut,” kata Julian kemudian.

.

.


“Arghh! Kenapa sulit sekali, sih?”
Padahal hanya sebuah karya tulis yang harus ia buat. Seorang Julian yang hampir sempurna dalam berbagai bidang seharusnya dapat dengan mudah melakukannya, tetapi sekarang ia bahkan tidak tahu darimana ia harus memulai tulisannya. Berkali-kali ia merobek kertas pada bukunya, padahal ia baru menuliskan satu baris pada lembaran yang ia sobek itu. Benar-benar sesuatu yang aneh untuknya.
“Hai!” Tiba-tiba Devon datang sambil menepuk pundaknya. “Sejak kapan kau ada di sini?” tanya Julian yang sedikit tak suka dengan kedatangan Devon yang pastinya akan membuat pekerjaannya lebih rumit dari sebelumnya. “Sejak kamu membuang kertas ke dua puluh dari bukumu,” kata Devon santai sambil kemudian duduk tepat di sebelah Julian.
“Apa yang sedang kau kerjakan? Karya tulis itu?” Devon memperhatikan seluruh kertas yang telah dibuang oleh Julian. Julian yang sedang tidak ingin meladeni Devon memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Devon dan kembali mulai mengerjakan karya tulisnya itu. “Hah! Dasar tidak berpengalaman! Kau pasti bahkan tidak tahu kepada siapa karya tulis akan kau berikan ‘kan?” tanya Devon sambil membaca satu-satu tulisan pada kertas yang telah dibuang Julian sebelumnya.
“Siapa bilang aku tidak tahu? Jangan menggangguku, lebih baik kamu pergi saja,” Julian merebut kembali kertas-kertas itu dari tangan Devon. “Kalau tahu kenapa tidak segera mulai?” Devon mulai bangkit dari kursinya dan berjalan menjauh. Tapi, baru beberapa langkah ia berhenti dan menoleh pada Julian. “Tulislah apa yang ingin kau ungkapkan padanya. Gunakan perasaanmu. Itu akan jauh lebih mudah dari pada mengada-ngada. Tulis apa adanya saja.” Kata Devon sambil berlalu pergi, memberikan ruang bagi Julian untuk melanjutkan tulisannya.

.

.


“Hai! Maaf lama sekali,” kata Agnes yang datang bersama Sophie dengan kedua tangan yang penuh dengan makanan pesanan Devon dan Julian. “Kalian beli makanan dimana, sih? Lama sekali!” protes Devon sambil mengambil kentang goreng pesanannya. Seolah tak ingin kembali berdebat dengan Devon, Sophie pun segera mengalihkan pandangannya pada Julian.
“Julian! Aku sudah baca tulisanmu. Bagus sekali! Aku sedang menerka-nerka siapa gadis itu,” puji Sophie yang membuat semburat merah muncul di wajah Julian. “Iya, gaya bahasamu sangat bagus,” Agnes pun ikut bersuara. Julian segera mengalihkan pandangannya pada Agnes. “Kau membacanya?” Wajah Julian masih memerah setelah mendapat pujian terus menerus seperti itu. “Tentu saja. Aku dan Agnes membacanya bersama. Tulisanmu yang paling baik dari semua yang sudah aku baca. Tulus sekali! Coba saja gadis itu membacanya, ia pasti akan sangat senang,”
Julian terdiam. Gadis itu sudah membacanya.

.

.

.

“Julian selamat! Aku sudah menebak kamu pasti menjadi juara!”
Pengumuman pemenang telah dipasang pada papan mading utama sekolah. Dan nama Julian terletak pada urutan pertama, yang artinya ia mendapat juara satu dalam lomba menulis itu. Teman-temannya—Agnes dan Sophie—sibuk menyelamatinya. Devon sendiri hanya diam—merasa tidak perlu repot-repot menyelamati Julian. Lagipula ia ‘kan sudah sering mendapat juara-juara dalam lomba-lomba sejenis dan Devon sendiri belum membaca tulisan itu—jadi ia tidak mengetahui seberapa bagus tulisan milik Julian itu.
Setelah “acara selamatan” oleh Sophie dan Agnes itu, Devon dan Julian berjalan-jalan sebentar ke lapangan kecil di belakang sekolah. “Mana coba kulihat hasil tulisanmu,” kata Devon sambil merebut kertas yang berisi tulisan Julian dari tangan pemiliknya. Ia membacanya sesaat.

“Sophie membuatkannya untukmu?”

“Aku menulisnya sendiri.”

“Agnes membuatkannya untukmu?”

“Aku menulisnya sendiri.”

“Sophie membantumu mengerjakannya?”

“Sudah kubilang ‘kan? Aku menulisnya sendiri.”

“Lalu? Agnes inspirasimu?”

“Aku menulisnya—“ Julian terdiam.

“Kadang-kadang kau itu transparan juga, ya? Mudah sekali ditebak. Bahkan aku hanya membaca bagian awalnya saja,” katanya sambil menunjuk pada halaman pertama tulisan Julian itu. Setelah itu, Devon beranjak pergi dari lapangan. Ia pergi meninggalkan Julian yang masih terdiam di tempatnya. Namun, sesaat kemudian langkah Devon terhenti dan kemudian berbalik. “Aku tahu gadis itu Agnes. Dan jangan megelak,” katanya sambil melanjutkan langkahnya. “Ngomong-ngomong tulisanmu bagus,” lanjut Devon tanpa berbalik menghadap Julian, benar-benar pergi meninggalkanya.

.

.


Sunshine
(Oleh Julian dari kelas XI A)
Saat membaca ini pertama kali, kalian pasti membayangkan tulisan ini akan dihiasi dengan berbagai kisah manis yang seindah sinar matahari seperti judul tulisan ini ‘kan? Tapi sayang sekali, kali ini aku akan membawa kalian bertemu dengan hujan. Hujan dengan awan gelap. Menakutkan. Tentang seorang anak laki-laki kecil yang tidak diterima orang-orang di sekitarnya, yang kesepian selama bertahun-tahun hidupnya dan hampir membuat anak kecil itu kehilangan arah hidupnya. Tentang seorang anak kecil yang begitu lemah hingga tetes-tetes air mata tak pernah absen dari ujung-ujung matanya. Tapi, saat harap telah hilang dari hidupnya, matahari itu datang dan bersinar untuknya. Seorang gadis kecil datang dan merengkuhnya, membuat secercah harapan kembali muncul dalam hidupnya. Seorang gadis kecil yang memintanya untuk jadi lebih kuat, untuk tidak pernah kehilangan harapan selama hidupnya. Yang membuatnya berjanji tidak akan lemah lagi.
Tulisan ini aku persembahkan untuknya. Tulisan dengan pesan anak laki-laki kecil itu di dalamnya. Ia sungguh berharap gadis itu bersedia membacanya. Dan menyukainya.

01010100 01100101 01110010 01101001 01101101 01100001 01101011 01100001 01110011 01101001 01101000 00100000 01110100 01100101 01101100 01100001 01101000 00100000 01100010 01100101 01110010 01110011 01101001 01101110 01100001 01110010 00100000 01110101 01101110 01110100 01110101 01101011 01101011 01110101 00100000 01110011 01100101 01101100 01100001 01101101 01100001 00100000 01101001 01101110 01101001 00101110

01000001 01101011 01110101 00100000 01101101 01100101 01101110 01111001 01110101 01101011 01100001 01101001 01101101 01110101 00101110

Senin, 21 Oktober 2013

Live In 2013

Tanggal 30 September sampai 4 Oktober kemarin, SMP Santa Ursula ngadain acara Live In. Live In itu adalah adalah acara yang diikutin sama semua anak kelas 8. Acaranya itu tinggal di rumah penduduk desa selama beberapa hari.

Live In tahun ini diadain di Desa Gayamharjo, Yogyakarta. Setiap rumah penduduk isinya ada 2 siswa. Saya tinggal serumah sama temen saya Calista. Kita tinggal di rumahnya Ibu Mantiyo Sunarto yang ada di wilayah Ngekong, lingkungan Santo Paulus.

Nah ini nih, rumahnya Bu Mantiyo. Cukup luas karena isinya juga cuma Ibu sendiri. Ibu bilang katanya Bapak udah meninggal, anaknya 2, udah nikah semua. Terus, tinggalnya di Bogor bareng sama cucu-cucunya Ibu. Makanya, rumahnya tuh sepi banget.

Jalan ke rumahnya ibu tuh lumayan jauh dari tempat pertemuan kita, di Gereja Marganingsih. Rasanya tuh cape banget, padahal sebenernya sih ngga terlalu jauh juga.. Mungkin karena pertama kali kesana jadi rasanya jauh..






Hari pertama, kita cuma kenalan sama Ibu nya, trus kita di suruh istirahat di kamar yang udah ditunjukin ke kita, karena kan kita baru sampe di rumahnya. Tapi, kita pengen ngerjain sesuatu karena bosen kalo cuma diem aja. Alhasil, kita disuruh ngebantuin Ibu masak buat makan kita.



Menu makan pagi merangkap siang hari itu sayur kol + wortel ditambah lauk ayam goreng kampung. Rasanya enak sih,berhubung kita yang masak wkwkwk, tapi emang enak sih soalnya sebenernya kita ngebantuin motong doang, yang ngebumbuin Ibu.

Habis selesai makan, kita di suruh istirahat(lagi), tapi ya udalah toh Ibunya juga tidur. Kerjaan ibu peternak. Kalau pagi biasanya nyari rumput ke ladang. Jadi, siang itu emang Ibu ngga ngapa-ngapain.

Sore itu kita disuruh refleksi jam 17.00 kumpulnya di rumah yang ditempatin sama pendamping kita, Bu Ani sama Bu Kristin. Kita semua saling cerita pengalaman hari pertama. Banyak temen yang udah bantu kerja, sedangkan kita cuma istirahat hari itu. Selesai refleksi sekitar jam 18.00. Habis itu kita langsung pulang.

Malem itu kita sama Ibu nonton TV bareng. Berhubung itu di desa, jadinya sinyal TV nya agak jelek. Tapi tetep bisa di tonton kok.. Baru sekitar jam 20.00, kita udah ngantuk. Jadi, kita pamit tidur sama Ibu, trus masuk kamar.

Besok paginya, kita bangun sekitar jam 04.30an gara-gara ayamnya Ibu. Kita langsung bantuin ibu nyapu. Pagi itu kita ngga langsung mandi larena mau bantuin ibu nyari rumput di ladang. Kita disuruh sarapan dulu sama ibu biar ada tenaganya.

Kita kira tuh, ladangnya deket-deket aja, ternyata jauh.. Pake naik-naik ke gunung gitu.. Bikin cape, tapi seru soalnya pemandangan di sekitar situ tuh bagus banget. Sayangnya, dihari pertama ini, kita lupa bawa kamera.

Begitu sampe kita langsung ngebantuin ibu nyabutin rumput, tapi ada beberapa rumput yang harus di potong pake arit. Begitu udah ke kumpul cukup banyak, kita pulang ke rumah.

Hari itu ada kegiatan baksos. Jadi, kita semua kumpul, ngambil sembakonya per lingkungan. Di lingkungan kita, kira-kira ada 11 rumah yang dapat pembagian sembako. Kita ngasih baksosnya ganti-gantian, satu orang satu rumah.
















Sama kayak hari sebelumnya, sehabis baksos, kita langsung refleksi jam 17.00 sampe jam 18.00. Selesai refleksi, kita pulang trus mandi sama makan.

Malem itu, ada doa lingkungan. Jadi selesai makan, kita langsung pergi lagi. Doa lingkungannya di salah satu rumah penduduk. Doanya mulai sekitar jam 08.00. Kita pikir, bakalan doa rosario, ternyata kita cuma ngobrol bercanda sama penduduk setempat. Kita ngebicarain macem-macem, termasuk perbedaan di desa sama di kota. Mereka semua orangnya baik-baik terus ramah lagi..

Karena pulang doa udah malem, kita langsung istirahat. Ibu juga langsung tidur.

Besok paginya, kita bangun kayak biasa. Kita juga ngebantuin nyapu rumah lagi. Hari itu tuh hari terakhir kita di rumah Ibu. Rencananya hari itu kita mau ke ladang lagi. Tapi kali ini, Glory sama Viankha, yang rumahnya ngga terlalu jauh sama kita, mau ikutan ke ladang bareng kita. Katanya, dirumah mereka ngga ada kerjaan makanya mereka mau ikut kita.












Sehabis pulang kita istirahat bentar, trus mandi. Habis mandi kita disuruh makan lagi. Hari itu rencananya kita mau ke Sendang Sri Ningsih yang ngga terlalu jauh dari rumah Ibu. Kita pergi kesana bareng sama Austine yang masih satu wilayah sama kita.






Sorenya, kita ada misa sama ramah tamah, nah harusnya tuh, kita ditemenin sama Ibu. Tapi ngga tau kenapa Ibu ngga bisa dateng. Padahal waktu kita mau berangkat, kita udah ngingetin Ibu. Akhirnya kita misa sama ramah tamah tanpa Ibu. Jadi waktu yang lain pada ngasih kado buat orangtua asuhnya, kita cuma pegang kado kita aja.

Selesai acara udah malem, jadi kita langsung pulang, takutnya dicariin Ibu. Kita pulang bareng temen yang lain, soalnya kita lupa bawa senter, jadi kita nebeng senter orang karena udah gelap jalanannya.

Begitu sampe rumah, ternyata Ibu lagi santai sambil nonton TV. Terus kenapa ngga dateng tadi? Tapi setelah kita tanya, ternyata sapi Ibu tuh kan sebenernya lagi hamil, nah pas mau berangkat misa, sapinya mau ngelahirin. Jadinya, Ibu tadi harus ngebantuin sapinya ngelahirin. Karena penasaran sama tuh anak sapi yang bikin Ibu ngga bisa dateng, kita malem-malem pergi ke kandang sapi di belakang rumah. Ternyata anaknya lucu juga.. Hahaha..


Habis dari kandang sapi, kita langsung tidur karena udah malem.

Besok paginya kita harus pulang. Sebelumnya Ibu ternyata udah nyiapin oleh-oleh buat kita. Isinya tuh ada kerupuk sama pisang. Sebelum keluar rumah kita foto dulu sama Ibu, buat kenang-kenangan..




Habis itu, kita dianterin ke Gereja Marganingsih lagi, disana kita doa terus foto bareng. Karena kita harus balik ke bis jadi kita langsung pamitan sama Ibu, juga ngga lupa kita ngucapin makasih karena udah nerima kita sama ngelayanin kita dengan baik..

Kita ngga langsung pulang, tapi kita ada acara rekreasi dulu ke beberapa tempat. Kita pergi ke Java buat beli oleh-oleh, trus ke Pantai Parangtritis buat foto-foto trus terakhir beli oleh-oleh di Malioboro.
Begitu selesai kita pulang balik lagi ke Bandung.