SUNSHINE AFTER RAIN
“Hey bocah! Untuk apa kamu ada di sini?”
“Sampah!”
“Mengganggu saja!”
“Pembawa sial!”
Di koridor sekolah yang sepi, tampak seorang
anak kecil berlari kencang. Nafasnya memburu. Namun, tampaknya kedua kakinya
tak mampu menopang tubuh kecilnya lagi. Ia jatuh terduduk. Telinganya ia tutup
rapat-rapat, berharap suara-suara itu hilang dari kepalanya. Matanya terpejam.
Ia menekuk kedua lututnya. Seluruh tubuhnya bergetar. Perlahan-lahan
tetes-tetes air mulai berjatuhan dari sudut-sudut matanya.Ia tidak mampu.Tidak
akan mampu bertahan lagi seperti sebelumnya. Seluruh tenaganya telah habis.
Seluruh harapannya telah sirna.
“Julian?” Seseorang menepuk pundak anak
kecil itu. “Julian?” sekali lagi orang itu menepuk pundaknya. “Julian!” Anak
laki-laki itu tersentak. Ia menengadah dan mendapati seorang gadis kecil
menatapnya dengan raut wajah cemas. Air mata mulai turun kembali dari kedua
matanya. “Julian baik-baik saja?” Gadis kecil itu duduk di sampingnya kemudian
merengkuh anak laki-laki itu sambil menepuk kepalanya pelan. “Julian harus
baik-baik saja. Julian ‘kan kuat. Aku percaya Julian bisa membuktikannya pada
mereka,” katanya lembut.
Dalam hatinya, anak laki-laki itu berjanji
untuk menjadi anak yang kuat. Seperti yang gadis itu katakan padanya.
.
.
“Hey, lihat!”
Tampak dua anak laki-laki sedang berdiri dihadapan sebuah papan mading. “Lomba
menulis untuk mading,” Salah seorang dari mereka membaca tulisan yang tertera
pada papan itu. “Julian, kamu tidak ingin mencoba yang satu ini?” Seorang lagi
yang dipanggilnya Julian itu menoleh lalu ikut melihat pada tulisan yang baru
saja dibaca temannya itu. “Dalam rangka memperingati hari Valentine tim mading
sekolah mengadakan lomba menulis.” Ia mulai membaca tulisan itu. “Tulisan
dibuat sebagai persembahan bagi orang yang penting bagi peserta, seperti ibu,
ayah, teman, sahabat, atau bahkan orang yang disukai. Karya-karya terpilih akan
dipajang di papan mading sekolah,” lanjutnya.
“Hai Devon,
hai Julian!” Dua orang gadis menghampiri mereka. “Kalian sudah baca
pengumumannya? Tentang lomba menulis. Aku dan Agnes menjadi panitia kali ini.
Kalau kalian tertarik untuk ikut bilang saja pada kami,” kata gadis dengan
tulisan nama Sophie pada seragamnya. “Julian mau ikut?” tanya seorang gadis
lain yang bernama Agnes itu. “Iya, Julian. Kamu ‘kan pandai membuat karya
tulis. Kamu bisa menulis untuk siapa saja. Untuk orang yang kau sukai misalnya,”
Sophie mengerling pada Julian yang segera terlihat malu itu. “Memangnya dia
punya?” tanya Devon sambil memberi tatapan menyelidik pada Julian. Sedangkan
yang dibicarakan hanya terdiam sedari tadi. “Tentu saja punya. Ya ‘kan?”
Kembali, untuk kesekian kalinya, Julian mendengar kedua temanya itu—Devon dan
Agnes meributkan hal yang bahkan tidak terlalu penting. “Memangnya dia punya waktu untuk menyukai seseorang?
Bukannya ia menghabiskan seluruh waktunya untuk belajar?” sindir Devon. “Kalian
ini bicara apa, sih?” Julian menghentikan ocehan kedua temannya yang sudah
mulai melantur itu. “Jadi, Julian mau ikut atau tidak?” tanya Agnes untuk
memastikan keikutsertaan Julian pada lomba menulis kali ini. “Aku ikut,” kata Julian
kemudian.
.
.
“Arghh! Kenapa
sulit sekali, sih?”
Padahal hanya
sebuah karya tulis yang harus ia buat. Seorang Julian yang hampir sempurna
dalam berbagai bidang seharusnya dapat dengan mudah melakukannya, tetapi
sekarang ia bahkan tidak tahu darimana ia harus memulai tulisannya.
Berkali-kali ia merobek kertas pada bukunya, padahal ia baru menuliskan satu
baris pada lembaran yang ia sobek itu. Benar-benar sesuatu yang aneh untuknya.
“Hai!”
Tiba-tiba Devon datang sambil menepuk pundaknya. “Sejak kapan kau ada di sini?”
tanya Julian yang sedikit tak suka dengan kedatangan Devon yang pastinya akan
membuat pekerjaannya lebih rumit dari sebelumnya. “Sejak kamu membuang kertas
ke dua puluh dari bukumu,” kata Devon santai sambil kemudian duduk tepat di
sebelah Julian.
“Apa yang
sedang kau kerjakan? Karya tulis itu?” Devon memperhatikan seluruh kertas yang
telah dibuang oleh Julian. Julian yang sedang tidak ingin meladeni Devon memilih
untuk tidak menjawab pertanyaan Devon dan kembali mulai mengerjakan karya
tulisnya itu. “Hah! Dasar tidak berpengalaman! Kau pasti bahkan tidak tahu
kepada siapa karya tulis akan kau berikan ‘kan?” tanya Devon sambil membaca
satu-satu tulisan pada kertas yang telah dibuang Julian sebelumnya.
“Siapa bilang
aku tidak tahu? Jangan menggangguku, lebih baik kamu pergi saja,” Julian
merebut kembali kertas-kertas itu dari tangan Devon. “Kalau tahu kenapa tidak
segera mulai?” Devon mulai bangkit dari kursinya dan berjalan menjauh. Tapi,
baru beberapa langkah ia berhenti dan menoleh pada Julian. “Tulislah apa yang
ingin kau ungkapkan padanya. Gunakan perasaanmu. Itu akan jauh lebih mudah dari
pada mengada-ngada. Tulis apa adanya saja.” Kata Devon sambil berlalu pergi,
memberikan ruang bagi Julian untuk melanjutkan tulisannya.
.
.
“Hai! Maaf
lama sekali,” kata Agnes yang datang bersama Sophie dengan kedua tangan yang
penuh dengan makanan pesanan Devon dan Julian. “Kalian beli makanan dimana,
sih? Lama sekali!” protes Devon sambil mengambil kentang goreng pesanannya.
Seolah tak ingin kembali berdebat dengan Devon, Sophie pun segera mengalihkan
pandangannya pada Julian.
“Julian! Aku
sudah baca tulisanmu. Bagus sekali! Aku sedang menerka-nerka siapa gadis itu,” puji
Sophie yang membuat semburat merah muncul di wajah Julian. “Iya, gaya bahasamu
sangat bagus,” Agnes pun ikut bersuara. Julian segera mengalihkan pandangannya
pada Agnes. “Kau membacanya?” Wajah Julian masih memerah setelah mendapat
pujian terus menerus seperti itu. “Tentu saja. Aku dan Agnes membacanya bersama.
Tulisanmu yang paling baik dari semua yang sudah aku baca. Tulus sekali! Coba
saja gadis itu membacanya, ia pasti akan sangat senang,”
Julian
terdiam. Gadis itu sudah membacanya.
.
.
.
“Julian
selamat! Aku sudah menebak kamu pasti menjadi juara!”
Pengumuman
pemenang telah dipasang pada papan mading utama sekolah. Dan nama Julian
terletak pada urutan pertama, yang artinya ia mendapat juara satu dalam lomba
menulis itu. Teman-temannya—Agnes dan Sophie—sibuk menyelamatinya. Devon
sendiri hanya diam—merasa tidak perlu repot-repot menyelamati Julian. Lagipula
ia ‘kan sudah sering mendapat juara-juara dalam lomba-lomba sejenis dan Devon
sendiri belum membaca tulisan itu—jadi ia tidak mengetahui seberapa bagus
tulisan milik Julian itu.
Setelah “acara
selamatan” oleh Sophie dan Agnes itu, Devon dan Julian berjalan-jalan sebentar
ke lapangan kecil di belakang sekolah. “Mana coba kulihat hasil tulisanmu,”
kata Devon sambil merebut kertas yang berisi tulisan Julian dari tangan
pemiliknya. Ia membacanya sesaat.
“Sophie membuatkannya
untukmu?”
“Aku
menulisnya sendiri.”
“Agnes
membuatkannya untukmu?”
“Aku menulisnya
sendiri.”
“Sophie
membantumu mengerjakannya?”
“Sudah
kubilang ‘kan? Aku menulisnya sendiri.”
“Lalu? Agnes
inspirasimu?”
“Aku
menulisnya—“ Julian terdiam.
“Kadang-kadang
kau itu transparan juga, ya? Mudah sekali ditebak. Bahkan aku hanya membaca
bagian awalnya saja,” katanya sambil menunjuk pada halaman pertama tulisan
Julian itu. Setelah itu, Devon beranjak pergi dari lapangan. Ia pergi meninggalkan
Julian yang masih terdiam di tempatnya. Namun, sesaat kemudian langkah Devon
terhenti dan kemudian berbalik. “Aku tahu gadis itu Agnes. Dan jangan megelak,”
katanya sambil melanjutkan langkahnya. “Ngomong-ngomong tulisanmu bagus,”
lanjut Devon tanpa berbalik menghadap Julian, benar-benar pergi meninggalkanya.
.
.
Sunshine
(Oleh Julian dari kelas XI A)
Saat membaca ini pertama kali, kalian pasti membayangkan
tulisan ini akan dihiasi dengan berbagai kisah manis yang seindah sinar
matahari seperti judul tulisan ini ‘kan? Tapi sayang sekali, kali ini aku akan
membawa kalian bertemu dengan hujan. Hujan dengan awan gelap. Menakutkan.
Tentang seorang anak laki-laki kecil yang tidak diterima orang-orang di
sekitarnya, yang kesepian selama bertahun-tahun hidupnya dan hampir membuat
anak kecil itu kehilangan arah hidupnya. Tentang seorang anak kecil yang begitu
lemah hingga tetes-tetes air mata tak pernah absen dari ujung-ujung matanya.
Tapi, saat harap telah hilang dari hidupnya, matahari itu datang dan bersinar
untuknya. Seorang gadis kecil datang dan merengkuhnya, membuat secercah harapan
kembali muncul dalam hidupnya. Seorang gadis kecil yang memintanya untuk jadi
lebih kuat, untuk tidak pernah kehilangan harapan selama hidupnya. Yang
membuatnya berjanji tidak akan lemah lagi.
Tulisan ini aku persembahkan untuknya.
Tulisan dengan pesan anak laki-laki kecil itu di dalamnya. Ia sungguh berharap
gadis itu bersedia membacanya. Dan menyukainya.
01010100 01100101 01110010 01101001 01101101
01100001 01101011 01100001 01110011 01101001 01101000 00100000 01110100 01100101
01101100 01100001 01101000 00100000 01100010 01100101 01110010 01110011
01101001 01101110 01100001 01110010 00100000 01110101 01101110 01110100
01110101 01101011 01101011 01110101 00100000 01110011 01100101 01101100
01100001 01101101 01100001 00100000 01101001 01101110 01101001 00101110
01000001 01101011 01110101 00100000 01101101
01100101 01101110 01111001 01110101 01101011 01100001 01101001 01101101
01110101 00101110
Tidak ada komentar:
Posting Komentar